Posts Tagged ‘anak’

Komisi Perlindungan Anak Indonesia Daerah (KPAID) Bali punya hajatan memperingati Hari Ibu tahun 2010. Komisi pimpinan dr. A.A. Sri Wahyuni, Sp.K.J. ini menggelar seminar bertema “Anak Investasi Bangsa” di Gedung Shanti Graha, Denpasar. Seminar mengupas peran ibu, anak, dan keluarga untuk menjadikan anak sebagai investasi keluarga yang akan berkembang menjadi investasi bangsa. Banyak catatan yang muncul dalam seminar ini, khususnya perhatian terhadap anak-anak di perdesaan.
Dari pantauan KPAID Bali, ternyata masih banyak anak-anak di Bali yang tidak mendapatkan hak-haknya. Misalnya, hak untuk mendapatkan pendidikan, kesehatan, dan hak untuk mendapatkan perlindungan dari kekerasan. “Anak merupakan investasi yang sangat berharga bagi sebuah bangsa sehingga hak-hak mereka wajib untuk dilindungi. Melalui momentum peringatan Hari Ibu kami mengajak semua pihak untuk menumbuhkembangkan kepedulian dan perhatian terhadap anak-anak. Terlebih-lebih perhatian terhadap anak-anak bangsa yang nasibnya suram seperti menjadi pedagang kaki lima, tukang suun (tukang angkut barang-red) di pasar, tukang pijat, dan sejenisnya. Di usianya yang masih sangat belia, mereka harus berjuang melawan kerasnya hidup, kehilangan keceriaan masa kanak-kanak dan tidak mendapat kesempatan mengenyam pendidikan yang layak,” tandas Sri Wahyuni.

Untuk mengatasi permasalahan yang tersebut, KPAID tidak bisa bergerak sendiri. Selain melibatkan para orangtua khususnya kaum ibu, peran serta instansi pemerintah juga sangat berpengaruh. Ia menegaskan anak adalah investasi keluarga dan bangsa. Karenanya semua pihak harus melindungi hak-hak anak.
Sri Wahyuni menambahkan, ada sejumlah daerah di Bali yang masih menjadi “kantong” anak-anak yang tidak mendapat pendidikan dan pelayanan kesehatan yang layak. “Dua diantaranya, wilayah Batu Meyeh, Songan, Kintamani dan wilayah Ban, Kubu, Karangasem. Di Kintamani, Puskesmas Pembantu sudah lama tidak beroperasi karena tidak ada petugas medisnya. Dulu pernah ada beberapa petugas medis yang ditempatkan di sana (puskesmas). Namun, begitu SK CPNS turun, mereka langsung ditarik. Jadi Puskesmasnya seperti dijadikan batu loncatan. Begitu terus kejadiannya sehingga benar-benar tidak ada petugas. Gedungnya juga sudah hampir roboh,” ungkapnya.

Kenyataan yang tak kalah memprihatinkan terjadi di sektor pendidikan. Di sejumlah daerah, kesadaran orang tua untuk menyekolahkan anaknya juga masih sangat rendah. Makanya, tidak mengherankan jika banyak anak usia sekolah terpaksa bekerja dan migrasi ke daerah perkotaan. Karena mayoritas dari mereka tidak berbekal keahlian dan pendidikan yang memadai, maka mereka sangat rentan terjerumus ke kegiatan-kegiatan yang negatif termasuk tindakan-tindakan kriminalitas yang melibatkan anak-anak di dalamnya.
Ketua Tim Penggerak PKK Kota Denpasar Ny. Ida Ayu Selly Mantra dalam sambutan yang dibacakan Ny. Rai Iswara mengatakan hak anak sesuai UU nomor 23 tahun 2003 tentang Perlindungan Anak harus diimplementasikan. Berbagai upaya untuk memenuhi hak anak harus dilakukan. “Pertama, hak asuh. Kedua, hak kesehatan. Ketiga, hak pendidikan dan kreasi.Keempat, hak berlindung dari kekerasan. Pemerintah Kota Denpasar terus meningkatkan upaya pemenuhan hak-hak anak bahkan telah mencanangkan Denpasar sebagai Kota Layak Anak. Ini menunjukkan kami serius dalam mengimplementasikan UU tersebut,” ujar istri Sekkot Denpasar ini.
Tim Penggerak PKK Denpasar juga mengajak orangtua di Denpasar untuk memberikan pengasuhan dan perlindungan anak dari berbagai bentuk kekerasan termasuk kekerasan dalam rumah tangga. Bantuan dan perlakukan khusus juga diberikan kepada anak-anak penyandang cacat, anak-anak berkebutuhan khusus, anak-anak dari keluarga kurang mampu, dan anak-anak jalanan.
“Semangat perlindungan anak harus menjadi media refleksi bagi keluarga untuk memainkan peran secara positif. Hal-hal yang juga harus dilakukan antara lain bersikap nondiskriminatif kepada anak, memegang prinsip kepentingan terbaik bagi anak, menghargai pendapat anak, dan memfasilitasi tumbuh kembang anak sesuai taraf psikologinya. Jika keluarga mampu menciptakan budaya komunikatif, seperti itu maka secara alami akan menciptakan keluarga harmonis dan ramah perlindungan anak,” papar Ny. Rai Iswara.

Seminar menghadirkan tiga pembicara. Dra. Luh Putu Margarani, M.Si. (Kabid Pengkajian Pengembangan Badan Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak /BP3A Provinsi Bali), Ni Made Mertanadi, S.H. (Kabid Pendidikan Informal dan Nonformal Disdikpora Provinsi Bali) dan dr. Made Laksmiwati (Kabid Binkesmas Dinas Kesehatan Provinsi Bali).
Margarani mengupas peran BP3A dalam menangangi permasalahan yang terkait perempuan dan anak. Ia sepakat dengan Sri Wahyuni, permasalahan yang terjadi tidak bisa diselesaikan sendiri-sendiri, tetapi harus saling bekerja sama. BP3A sudah memiliki kebijakan yang isinya antara lain
mewujudkan perencanaan yang berperspektif gender serta meningkatkan kesetaraan dan keadilan dalam kedudukan, peran dan tanggung jawab laki-laki dan perempuan sebagai insan dan sumber daya pembangunan.

Dalam mendidik anak, ia juga setuju dengan apa yang disampaikan Ketua Tim Penggerak PKK Denpasar. “Jangan pernah berlaku nondiskriminatif terhadap anak, misalnya membedakan perhatian untuk anak laki-laki dan anak perempuan. Yang perlu diingat, jika kita bertemu teman lama, pasti yang ditanya sudah berapa punya anak. Ini artinya anak sebagai investasi yang membanggakan,” ujar Margarani.
Terkait peran BP3A, Ardjani dari Pusat Studi Wanita Universitas Udayana berharap badan ini tidak hanya mengeluarkan kebijakan, tetapi harus ada terobosan atau aksi nyata untuk mengatasi permasalahan yang berkaitan dengan anak. Ia juga mengaku kesulitan untuk mendapatkan data pekerja anak dan gelandang serta pengemis anak di Bali. “BP3A sudah menyusun buku profil anak. Melalui buku ini, saya berharap akan melahirkan pemikiran dan strategi pengarusutamaan anak,” tegasnya.

Novi dari KMHDI menambahkan BP3A perlu lebih banyak lagi turun dan melakukan sosialisasi ke perdesaan. Selama ini permasalahan anak dan perempuan tidak hanya di perkotaan, tetapi juga terjadi di perdesaan. Jika sudah ada sosialisasi dan di kemudian hari ada permasalahan di perdesaan, warga cepat tanggap.
Ia juga melihat sekolah lebih focus kepada Ujian Akhir Sekolah dan Ujian Nasional ketimbang memperhatikan pendidikan agama dan budi pekerti siswa.
Catatan juga disampaikan Astria, mahasiswi IKIP PGRI Bali. Ia melihat anak memang sebagai investasi keluarga dan fokusnya harus di pendidikan. “Selama ini dimana ada kebodohan, di sana ada kemiskinan. Sebaliknya, dimana ada kemiskinan, disana ada kebodohan. Pendidikan layak belum menyentuh semua lapisan masyarakat. Saya berharap, pemerintah tidak hanya sekadar menghasilkan kebijakan tetapi harus ada aksi nyata,” perempuan yang juga aktif di Kisara ini.

Ni Made Mertanadi banyak memaparkan mengenai pendidikan nonformal yang bisa diberikan kepada anak sejak dini. Ini diwujudkan dengan mendirikan lembaga pendidikan anak usia dini (PAUD). Di perkotaan, PAUD sudah banyak, mulai dari yang harga murah sampai harga mahal. Namun, untuk perdesaan, diakuinya masih kurang. Karena itu, pihaknya terus berupaya agar PAUD di perdesaan bisa tumbuh. “Salah satunya dengan membuat program parenting yakni melibat orangtua yang ada di dekat lokasi PAUD untuk menjadi pendidik,” tandasnya seraya mengatakan tujuan PAUD adalah menguatkan mental dan moral anak. Melalui permainan, diselipkan pendidikan budi pekerti dan menghargai lingkungan.

Petunjuk teknis pendirian PAUD nonformal juga sudah disiapkan di masing-masing Dinas Pendidikan di Kabupaten/Kota. PAUD dalam pelaksanaanya melibatkan pendidik dan pengelola berdasarkan kesepakatan. Semuanya harus mendapat pelatihan sebelum menjalankan sebuah PAUD. Ke depan, sasaran pendirian PAUD akan diarahkan ke perdesaan. Ia mencontohkan di Bogor, ada ibu rumah tangga yang mengelola PAUD tiga kali seminggu. Peserta PAUD ini berasal dari anak-anak jalanan.
Intan Paramita dari Sloka Institute menuturkan pengalamannya memberikan pendidikan bagi anak jalanan usia 8-18 tahun yang ada di Kapal dan Perang, Badung. Mereka adalah anak-anak putus sekolah yang harus bekerja untuk mendapatkan uang agar bisa makan. Namun, mereka memiliki niat untuk mendapat pendidikan. Intan berharap anak-anak jalanan ini mendapat kesempatan untuk mengikuti pendidikan Kejar Paket.

Sri Astuti dari Pusat Studi Wanita Universitas Mahasaraswati menegaskan anak bukan sekadar investasi tetapi juga harus berkualitas tinggi. Salah satu menghasilkan investasi berkualitas tinggi ini dengan memberikan pendidikan berkualitas tinggi. Ini bisa dilakukan di sekolah dan guru berperan untuk membantu merealisasikannya. “Guru wajib memiliki 10 kompetensi dasar agar bisa menghasilkan siswa yang berkualitas tinggi. Kalau dasar sudah bagus, usia emas dimanfaatkan dengan baik, saya yakin investasi ini akan benar-benar terwujud,” tegasnya.
Dari sisi kesehatan, dr. Laksmi menjelaskan tentang angka kematian ibu dan bayi di Bali seperti gergaji alias naik turun. “Tahun 2010, angka kematian bayi di Bali 346 (6,07%). Provinsi tetangga sudah berani mencanangkan angka kematian bayi dan angka kematian ibu saat melahirkan nol. Kami pun terus berupaya agar angka kematian bayi dan ibu menurun. Ini memerlukan sinergi dengan banyak pihak. Bukan hanya tanggungjawab Dinas Kesehatan ,” tegasnya.

Roichan dari FKAUB Bali mengatakan Bali tidak perlu meniru tetangga dalam urusan target angka kematian bayi dan ibu melahirkan. Ia lebih cenderung agar masalah keluarga yang dijadikan fokus. “Pemanjaan anak akan mengakibatkan pendidikan anak kurang berhasil. Pemanjaan malah menghancurkan masa depan anak,” tegasnya.
Ia mengutip angka 29.700 nyawa anak melayang di jalanan. Hal ini karena orangtua terlalu memanjakan anak dalam urusan sarana transportasi. Pemanjaan lain juga mengakibatkan banyak laki-laki yang kawin lagi agar bisa punya anak laki-laki.Terkait pendidikan budi pekerti yang “dekat” dengan ahlak mulia dan kesusilaan, ia khawatir itu akan membuat resistensi dan menggantikan pendidikan agama.

Dokter Laksmi sepakat dengan Ardjani dan mendukung strategi pengarusutamaan anak. Rencana aksi lebih lanjut harus dimotori BP3A dan disokong lembaga lainnya. Yang sudah ada saat ini adalah pusat layanan terpadu di RS Sanglah dan RS Trijata.
Ia juga membenarkan apa yang dikatakan Sri Wahyuni terkait kondisi kesehatan di beberapa daerah. “Di Karangasem dan Nusa Penida sulit mencari dokter yang mau menetap di sana,” tandasnya. –wah